Selasa, 09 November 2010 | By: House of Lights

"Dan Allah Menyatukan Hati Mereka"

Abu Dzar pernah mencela Bilal berkenaan dengan ibunya, lalu Bilal mengadukan hal itu kepada Nabi saw. Abu Dzar pun akhirnya menyesali perkataan yang telah diucapkannya kepada Bilal. Ia pun meletakkah pipinya di atas tanah, kemudian berkata kepada Bilal, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pipiku sehingga engkau mau menginjaknya dengan telapak kakimu!” Akhirnya, keduanya pun saling berpelukan dan berjabat tangan.

Kita sering dan sangat mengenal kata ‘ukhuwah’. Kita pun meyakininya sebagai salah satu pilar dalam amal jama’i untuk tercapainya kemenangan da’wah. Tak hanya itu, kita juga mengaku menjadi orang-orang yang meninggikan ukhuwah.
Kadang, ukhuwah mudah terucap dari lisan kita. Tapi kadang, kita lupa melihat lebih dekat, apakah kita telah betul-betul menyatukan hati dengan saudara-saudara satu tekad dan se-perjuangan? Ada untaian yang lebih menjelaskan alasan kenapa ukhuwah menjadi salah satu rukun dalam arkanul baiat. Bukan sekedar mendefinisikannya sebagai persaudaraan, atau memanggil dengan sebutan ‘ikhwah’ atau ‘akhi’ dan ‘ukhti’. Untaian itu adalah berhimpunnya hati para da’i karena Allah dan untuk Allah. Hati yang berhimpun jauh lebih dalam makna persatuannya ketimbang tubuh-tubuh yang berkumpul dalam lingkaran atau bola pejal. Hati yang berhimpun jauh lebih besar efeknya ketimbang tangan-tangan yang berjabat tapi sekedar sebagai ‘adat’. Hati yang berhimpun karena Allah menjadi buah ketaatan yang mengantarkan pada kemenangan meninggikan kalimah-Nya.

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Alloh) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka).”[Q.S. Maryam:96]

Betul, harus ada upaya untuk menyatukan hati. Sebab, tidak akan ada gunanya kalau menyatukan hati menjadi sekedar jargon atau bahan diskusi semata. Berikut adalah unsur-unsur dalam seni menyatukan hati menurut DR.‘Aidh al Qarni, M.A. :

☺Menahan amarah
“Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Alloh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Q.S. Ali ‘Imron : 134]
Ulama menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan dalam menahan amarah :
-         Pemula ; orang yang jika diperlakukan secara tidak baik, maka ia mampu menahan amarahnya.
-         Menengah ; jika ia menambahkan lagi kebaikannya, “…dan memaafkan (kesalahan) orang…”. Maka ia akan segera menemui orang yang berbuat jahat dan mengatakan, “Semoga Alloh memberikan maaf kepadamu”.
-         Terdepan dalam kebaikan ; jika ia menambahkan lagi kebaikannya, “…Alloh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Maka ia segera pergi menemuinya dan membawakan hadiah atau berkunjung dan menjabat tangannya.

☺Menanggalkan rasa dendam dan permusuhan
Dalam Perang Jamal, kelompok ‘Aisyah, Tholhah, Zubair beserta para sahabat pendukung tokoh ini, keluar menghunus pedang. Sementara itu kelompok ‘Ali yang juga diikuti para sahabat ahli Badr, juga keluar membawa pedang. Mereka pun saling bertempur.
Ketika Thalhah terbunuh dalam peperangan itu—sedangkan ia berada dalam barisan yang menetang ‘Ali--, maka ‘Ali pun turun dari kudanya dan meninggalkan pedangnya, lalu berjalan kaki menuju ke tempat Thalhah. ‘Ali memandangi Thalhah yang telah terbunuh dan tergeletak di atas tanah. ‘Ali mengusap debu yang menempel pada jenggot Thalhah seraya berkata, “Ali sangatlah bersedih melihatmu dalam kondisi seperti ini, wahai Abu Muhammad. Tetapi, aku memohon kepada Allah agar berkenan menjadikan diriku dan dirimu sebagai bagian dari golongan orang yang disebut Allah melalui firman-Nya:

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan”
 [Al-Hijr : 47]

Lihatlah kesucian dan kejernihan (hati) ini, lihatlah kedalamannya. Padahal mereka saling berperang, dan darah pun mengalir, namun ‘Ali tetap memeluk Thalhah dan memberi salam kepadanya.
Contoh hidup ini menunjukkan pada kita bahwa orang-orang seperti itu tidaklah keluar dari sifatnya sebagai manusia biasa, dan samasekali tidak pernah berubah menjadi malaikat. Tetapi, mereka menjadi potret manusia terbaik dan paling elok yang pernah dikenal oleh dunia ini.

☺Mencurahkan kehormatan dan harta di jalan Alloh
Abu Dhomdhom mengerjakan sholat malam kemudian berdoa, “Ya Alloh, sesungguhnya aku ini seorang yang tidak punya harta benda yang bisa aku sedekahkan di jalan-Mu dan juga tidak memiliki fisik yang kuat untuk berjihad demi Dzat-Mu. Namun aku siap menyedekahkan kehormatanku terhadap kaum muslimin. Ya Alloh, siapa saja yang mencaciku, atau mencelaku, mendzholimiku, atau menggunjingku, maka jadikanlah itu semua sebagai kafarat (penebus dosa) baginya.”               
Mudah-mudahan Alloh menjadikan darah dan jiwa kita, kehormatan kita, harta benda kita, dan keluarga kita sebagai tebusan bagi laa ilaaha illallaah Muhammadaur rasulullah.

Menyudahi perseteruan dan berupaya mendamaikan
Orang yang mampu menyudahi pertikaian, mampu mencari jalan damai, serta tidak melakukan permusuhan dengan sesama manusia, khususnya adalah orang yang memiliki keutamaan dan kedudukan, maka ia berarti telah melakukan kebaikan terhadap dirinya sendiri, terhadap Islam, dan terhadap kaum muslimin.

Introspeksi diri
Engkau mungkin akan mendapatkan seseorang yang pemurah, akan tetapi ia mudah marah. Engkau akan mendapatkan orang penyabar dan pemaaf, akan tetapi ia bakhil. Engkau mendapatkan seseorang yang baik hati, akan tetapi ia suka terburu-buru. Sebab, Alloh memang telah membagi-bagikan sifat terpuji dan tercela pada masing-masing manusia.
“Sekiranya tidaklah karena karunia Alloh dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan keji dan munkar) selama-lamanya, tetapi Alloh membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [An-Nur: 21]

“Ada tiga hal yang tidak akan menjadikan dengki hati seorang muslim selama-lamanya, yaitu mengikhlaskan amal karena Alloh, memberikan nasihat kepada para pemimpin, dan berpegang pada jamaah. Sesungguhnya doa mereka akan mengelilingi dari belakang mereka.”*

Referensi :
Al-Qorni, ‘A’idh. 2006. Pesona Cinta : Potret Indah Kasih Sayang Kaum Beriman. Solo : Wacana Ilmiah Press

Tato Hati

Ada sebuah kisah (nyata lo, saya mendengarnya langsung dari yang
mengalaminya) . Seorang dokter ahli kulit dan kelamin menceritakan
pengalaman prakteknya.
Pada suatu hari, ada pasien datang kepadanya,
mengadukan masalah kulit yang dideritanya. Seperti kebanyakan
pasien2 dokter ini, pasien yang satu ini juga heboh dengan masalah
kulitnya karena dikejar deadline pernikahan. Kalau tidak salah
ingat, yang bermasalah adalah kulit bagian lengan atas.
Usut punya usut, kerusakan kulit itu terjadi karena proses
penghapusan tato yang kurang sukses. Syahdan, sebelumnya sang pasien
yang seorang wanita ini mentato lengannya dengan nama pacarnya,
sebagai tanda betapa besar cintanya pada sang kekasih. Sebut saja
nama pacar yang di-ukirkan di lengan wanita itu adalah andi.
Masalahnya kemudian adalah, si wanita ini ternyata (seiring
berjalannya waktu dan dengan berbagai pertimbangan tentunya) akan
menikah dengan (sebut saja) anton. whoaa...Lhah, heboh kan? Masak mo
nikah sama anton tatonya andi?!! Sungguh merana sang wanita...
Waktu mendengar cerita itu, plus karena bu dokter menceritakannya
dengan gaya yang heboh2 lucu, saya pun tertawa tergelak-gelak.
Bener2 tertawa, geli!. Bahkan saya bercerita dengan bapak-ibu
(secara, keluarga kami memang hobi banget berbagi cerita lucu), dan
dapur kami (waktu itu settingnya di dapur) mendadak ramai dengan
tawa. Hua..haha...


Tapi, tiba2 saja saya menyadari sesuatu yang lain dari cerita itu.
Sesuatu yang, yah...filosofis gitu deh. Setelah merenung2, saya
berpikir, masalah tato ini nggak sepele lho. Bukan soal hukum
tatonya, tapi pemaknaannya. Gini, mentato artinya memberikan tanda,
mengukirkan, mematri, dan apalagi lah padanan kata yang tepat, yang
jelas, apa yang ditatokan itu dibuat bersifat jelas, tetap, dan
permanen (mendarah daging kali yaks). Tato yang ada di kulit masih
bisa diakali, dihapus, digosok/ disetrika, dan lain sebagainya.
Kalaupun terjadi risiko kerusakan kulit, setidaknya jejak apa yang
ditatokan itu terhapuskan. Luka fisik itu juga relatif dapat
disembuhkan.
namun, bagaimana dengan tato hati?
kata org2 tua, ada yg namanya kecenderungan hati (biasa disebut rasa
suka/ cinta). Kita pada umumnya, atas izin Allah, memiliki
kecenderungan hati. Spesifik saja, ini kecenderungan hati terhadap
lawan jenis, yang kita harapkan menjadi pasangan hidup kelak.
Kecenderungan hati sebelum pernikahan, bisa saja ada (seperti kisah
Fathimah dan Ali), bisa juga tidak (ortu atau mbah2 kita jaman dulu
yg nikahnya dijodohin & ngga slg kenal). Kecenderungan hati, mungkin
lho ya, bisa muncul dari sononya (kita ga tau kenapa bisa muncul),
bisa juga karena kita mengupayakannya (melakukan tindakan2 yang
mendorong hati kita untuk cenderung pada seseorang).
Kecenderungan
hati yang terus dipupuk,kemudian didukung ke"shahih"annya dengan
fakta yang dihubung-hubungkan, prasangka dan asumsi yang disetir
oleh harapan-harapan, berkoloni menjadi angan-angan, dan mungkin
saja nama itu terlantunkan dalam doa agar nama yang disebut
dijadikan pasangan hidupnya kelak--ini yang saya sebut dengan men-
tato hati. (kalau bahasanya Pak Cahyadi, hati-hati mendikte Allah
dalam doa).
Emang, apa salahnya ya? Salah atau benar kadang jadi
relatif mengingat persepsi, pemahaman dan nilai-nilai yang kita anut
berbeda-beda. Tapi terlepas dari relativitas (?) itu, saya hanya
ingin berbagi soal keyakinan kita tentang jodoh yang telah
dituliskan, dan sungguh Allah Yang Maha Berkehendak. Kita ndak
pernah tau sebelum semuanya telah Allah perlihatkan, bukan? Seperti
keyakinan kita akan kematian.
Ya, tato hati itu, kalau ternyata jodoh yang Allah tentukan untuk
kita bukan orang yang namanya telah kita patri dalam hati, hmm…
gimana rasanya?
(saya jadi inget, ada seseorang yang waktu itu sedang menjelang hari
H pernikahannya, ia mengatakan; saya belum yakin bahwa orang ini
adalah jodoh saya, sampai ketika akad nikah telah dilakukan dengan
sah). Hmm…
Kalo gitu, boleh ngga ya fren, kita punya kecenderungan hati? It's
up to you. Coz kadang kita ngga bisa bebas kecenderungan. Tapi ya,
jangan sampai jadi tato hati. Sebaiknya sih tidak dipupuk sebelum
waktunya, sebelum kita memang telah siap menikah lahir batin.
Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
And then, kita mohon pada Allah untuk dijaga kebersihan niat dan
keikhlasan kita. Berdoa, dan kembalikan kepada Yang Memiliki Hati.
Semoga itu bagian dari petunjuk-Nya, dan mungkin adalah pembelajaran
langsung dari-Nya sampai kemudian Allah tanamkan pemahaman dalam
hati kita, tentang keikhlasan dan ketulusan. Subhanallah. ..so sweet
dah,,
Ok prens, be careful! and don't worry be happy, just take it easy.
Kehidupan di dunia ini indah dengan segala pernak-perniknya, tapi
sungguh, keindahan syurga jauu..uhh lebih memukau dan membuat kita
terpana (kalau anda percaya apa yang Allah janjikan). Dan siapakah
yang lebih menepati janji-Nya selain daripada Allah?

"Ukuran integritas cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati,
terkembang dalam kata, dan terurai dalam tingkah dan laku. Kalau cinta hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak
berdaya. Kalau cinta hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai kepalsuan dan tidak nyata. Kalau cinta sudah terurai jadi laku, cinta itu sempurna seperti dalam pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tegak dalam kata, dan buahnya menjuntai dalam laku.
Persis seperti iman, dia terpatri dalam hati, terucap dalam lisan,
dan dibuktikan oleh amal." [DR.K.H.Muslih Abdul Karim,MA, 2007]

Kebaikan dan Keburukan pun Mengalir

Kebaikan dan keburukan pun mengalir


Air mengalir mengikuti alur sungai, laut, atau samudera tempatnya bermuara--itu sudah hukum alam.
Listrik juga mengalir, merembet mengkuti jalur kabel dan setrum yang ada--juga telah jadi hukum alam.
Cahaya pun mengalir bukan? Buktinya ada istilah kecepatan cahaya, berarti kan ada laju, ada pergerakan, ya tho?

Begitulah yang terjadi pada kebaikan ataupun keburukan; ia akan mengalir, merembet, terus menerus dan bertambah-tambah sesuai dengan lajunya.

Ketika kita melakukan kebaikan dengan benar (meliputi dua syarat; niat dan cara), maka rembetannya adalah kebaikan demi kebaikan yang insya Allah terus bertambah-tambah, hingga iman kita juga menjadi meningkat dan meningkat semakin kuat. Lakukan kebaikan yang simple; misalnya tersenyum. Senyum itu akan mengantarkan kita pada perilaku menyapa, mengenal dan kemudian mungkin menolong. Tambah gede kan peluang pahalanya?

Ketika kita melakukan keburukan, ia juga akan merembet, terus menerus dan semakin bertambah kuantitas maupun kualitasnya, hingga jejak hitam yang ditinggalkannya semakin tebal dan mengerak, menggelapkan cahaya hati kita, hingga energi iman itu pun tersumbat, gaungnya semakin jauh dan jauh terdengar dan dapat menjadi tak terasa. Mungkin budaya korupsi di negeri kita merupakan salah satu contohnya. Awalnya, sisa seribu dari uang pembelian properti kantor nggak papalah diambil, anggap saja uang lelah. Toh, cuman seribu ini. Terus, dua ribu; nggak pa2, nggak jauh beda ama seribu. Terus, lima ribu; uang lima ribu jaman sekarang mah kecil, ngga ngaruh juga ke anggaran kantor, diambil nggak pa2, bisa buat beli jajan anak2. Terus, 10ribu, 100ribu, 1juta, dst...dst...!!

Ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Syafi'i, bahwa ketika kita membuka satu pintu kemaksiatan (yang masih dianggap ringan) maka pintu-pintu kemaksiatan lainnya (yang lebih besar) akan dengan mudah terbuka.

Mungkin itulah alasan mengapa kita diperintahkan untuk melakukan kebaikan (berjihad, berusaha bersungguh-sungguh, bekerja keras) dalam keadaan ringan maupun berat. Sebab kebaikan itulah yang akan menjadikan munculnya sekaligus menjaga kebaikan-kebaikan yang lain terus mengalir.

Dan mungkin itulah alasan mengapa kita diwanti-wanti untuk jangan meremehkan dosa-dosa kecil, sebab membiasakan/ memudahkan melakukannya akan mendorong kita untuk gampang melegitimasi dosa-dosa selanjutnya, yang mungkin levelnya semakin berat. Ada ayat dalam al Qur'an yang melarang kita untuk tidak mendekati zina. Bunyinya 'jangan mendekati zina', bukan 'jangan berzina'. Mendekati saja sudah diultimatum untuk jangan dilakukan. Kenapa? Balik ke soal hukum mengalir tadi, melakukan hal-hal yang mendekati itu akan mendorong pada apa yang tidak boleh didekati itu.
Kayak kalau kita naik motor dengan kecepatan 100 km/jam, tentu akan lebih sulit berhenti ketika di-rem, ketimbang nge-rem pada kecepatan 50 km/jam, relatif lebih cepat dan mudah untuk di-stop.

Ada yang pernah berpesan; jagalah amalan wajib dengan amalan2 sunnah. Mungkin kita tidak mampu melakukan amal ibadah selayaknya generasi shaleh dahulu kala, atau kayak kyai, ustadz, dan 'ulama sekarang, atau kayak temen kita yang kita anggep 'alim. Tapi dengan mempunyai target yang ideal (menurut batas kemampuan kita), itu akan menjaga kita dari ke'jatuh'an dan ke'jauh'an yang amat sangat.

Iman memang naik turun, tapi naiknya karena taat, dan turunnya karena maksiat. Hati memang mudah berbolak-balik, dari baik jadi nggak baik dsb, tapi dengan punya target penjagaan diri, setidaknya itu menjaga kita dari kemungkinan terburuk hilangnya keimanan. Simple aja, kayak kalau kita pengen dapet IP 3,5, targetnya paling nggak  dapet IP 4. Target meraih nilai A, jadi apes2nya ya dapet B-lah.

Pernah mengamati air yang merembes pada kain? atau teh celup. Ketika kantong teh itu dicelupkan ke dalam air putih, serta merta si air putih berubah warna dan rasa, yaitu warna dan rasa teh (ya iyalah, masa jamu :p).

Kalau kita mau menilik diri kita dalam-dalam; kita hidup bersama dengan orang lain, dlm suatu lingkungan, yang mau nggak mau kita musti ngaku, masyarakat dan lingkungan tempat kita tinggal itu berpengaruh terhadap diri (warna dan rasa) kita. Nilai-nilai yang kita anut, sedikit banyak adalah buah2 interaksi dengan lingkungan, dari mulai biyung kita yg amat kita cintai, keluarga di rumah, tetangga, teman main kelereng, ampe sekarang teman kost, kampus, warga sekampung, dan seterusnya.
Mau nggak mau, kita seyogya(eh, kebumen)nya ngaku, bahwa kita tercelup, atau dicelupi. Celupan (bahasa arabnya; sibghoh) itu bisa macem-macem. Kayak teh celup yg juga ada berbagai macam mereknya. Tinggal pilih mo dicelup atau nyelup yang mana.

"Sibghoh Allah. Siapa yang lebih baik sibghoh-nya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah." (QS Al Baqarah: 138)

-wallahua'lam-
Selasa, 02 November 2010 | By: House of Lights

Yuk mari, thinking positively!

Bismillahirrahmaanirrahiim...
Bagi sebagian besar kita, berpikir positif adalah 'tema biasa' yang seringkali 'tak biasa' dilakukan. Tidak mudah memang, mengingat aktifitas berpikir positif erat kaitannya dengan kemampuan mengelola emosi (kira-kira gitu deh... :).
Beberapa hari lalu, kita mendengar Mentawai tsunami dan Merapi meletus
sebagian orang mengeluh, "kenapa bencana datang bertubi-tubi?apakah Tuhan tak sayang pada kita?"
sebagian lagi berujar, "sungguh Allah begitu sayang pada kita, tak henti-henti mengingatkan kita untuk kembali pada-Nya...."
Pagi ini, jalanan begitu macet dan penuh polusi
sebagian orang mengumpat, "macet banget sih?!telat nih..."
sebagian lagi mengatakan, "hhmm, bisa ngelurusin kaki yang pegel nih. besok berangkat lebih awal ah biar ngga macet"
Saat jam makan siang, bakso malang yang super 'ngileri' tak nampak batang hidungnya
sebagian penikmatnya mendesah, "uuhhh...mana lagi pengin banget, malah ngga jualan. bisa kelaperan nih!"
sebagian penikmat yang lain berkata, "ya udah deh, saatnya makan sehat. pesen nasi rames dengan lauk pauk yang bergizi.kapan2 aja makan bakso malangnya"
............................................
selanjutnya, ...................terserah Anda.