Selasa, 09 November 2010 | By: House of Lights

Kebaikan dan Keburukan pun Mengalir

Kebaikan dan keburukan pun mengalir


Air mengalir mengikuti alur sungai, laut, atau samudera tempatnya bermuara--itu sudah hukum alam.
Listrik juga mengalir, merembet mengkuti jalur kabel dan setrum yang ada--juga telah jadi hukum alam.
Cahaya pun mengalir bukan? Buktinya ada istilah kecepatan cahaya, berarti kan ada laju, ada pergerakan, ya tho?

Begitulah yang terjadi pada kebaikan ataupun keburukan; ia akan mengalir, merembet, terus menerus dan bertambah-tambah sesuai dengan lajunya.

Ketika kita melakukan kebaikan dengan benar (meliputi dua syarat; niat dan cara), maka rembetannya adalah kebaikan demi kebaikan yang insya Allah terus bertambah-tambah, hingga iman kita juga menjadi meningkat dan meningkat semakin kuat. Lakukan kebaikan yang simple; misalnya tersenyum. Senyum itu akan mengantarkan kita pada perilaku menyapa, mengenal dan kemudian mungkin menolong. Tambah gede kan peluang pahalanya?

Ketika kita melakukan keburukan, ia juga akan merembet, terus menerus dan semakin bertambah kuantitas maupun kualitasnya, hingga jejak hitam yang ditinggalkannya semakin tebal dan mengerak, menggelapkan cahaya hati kita, hingga energi iman itu pun tersumbat, gaungnya semakin jauh dan jauh terdengar dan dapat menjadi tak terasa. Mungkin budaya korupsi di negeri kita merupakan salah satu contohnya. Awalnya, sisa seribu dari uang pembelian properti kantor nggak papalah diambil, anggap saja uang lelah. Toh, cuman seribu ini. Terus, dua ribu; nggak pa2, nggak jauh beda ama seribu. Terus, lima ribu; uang lima ribu jaman sekarang mah kecil, ngga ngaruh juga ke anggaran kantor, diambil nggak pa2, bisa buat beli jajan anak2. Terus, 10ribu, 100ribu, 1juta, dst...dst...!!

Ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Syafi'i, bahwa ketika kita membuka satu pintu kemaksiatan (yang masih dianggap ringan) maka pintu-pintu kemaksiatan lainnya (yang lebih besar) akan dengan mudah terbuka.

Mungkin itulah alasan mengapa kita diperintahkan untuk melakukan kebaikan (berjihad, berusaha bersungguh-sungguh, bekerja keras) dalam keadaan ringan maupun berat. Sebab kebaikan itulah yang akan menjadikan munculnya sekaligus menjaga kebaikan-kebaikan yang lain terus mengalir.

Dan mungkin itulah alasan mengapa kita diwanti-wanti untuk jangan meremehkan dosa-dosa kecil, sebab membiasakan/ memudahkan melakukannya akan mendorong kita untuk gampang melegitimasi dosa-dosa selanjutnya, yang mungkin levelnya semakin berat. Ada ayat dalam al Qur'an yang melarang kita untuk tidak mendekati zina. Bunyinya 'jangan mendekati zina', bukan 'jangan berzina'. Mendekati saja sudah diultimatum untuk jangan dilakukan. Kenapa? Balik ke soal hukum mengalir tadi, melakukan hal-hal yang mendekati itu akan mendorong pada apa yang tidak boleh didekati itu.
Kayak kalau kita naik motor dengan kecepatan 100 km/jam, tentu akan lebih sulit berhenti ketika di-rem, ketimbang nge-rem pada kecepatan 50 km/jam, relatif lebih cepat dan mudah untuk di-stop.

Ada yang pernah berpesan; jagalah amalan wajib dengan amalan2 sunnah. Mungkin kita tidak mampu melakukan amal ibadah selayaknya generasi shaleh dahulu kala, atau kayak kyai, ustadz, dan 'ulama sekarang, atau kayak temen kita yang kita anggep 'alim. Tapi dengan mempunyai target yang ideal (menurut batas kemampuan kita), itu akan menjaga kita dari ke'jatuh'an dan ke'jauh'an yang amat sangat.

Iman memang naik turun, tapi naiknya karena taat, dan turunnya karena maksiat. Hati memang mudah berbolak-balik, dari baik jadi nggak baik dsb, tapi dengan punya target penjagaan diri, setidaknya itu menjaga kita dari kemungkinan terburuk hilangnya keimanan. Simple aja, kayak kalau kita pengen dapet IP 3,5, targetnya paling nggak  dapet IP 4. Target meraih nilai A, jadi apes2nya ya dapet B-lah.

Pernah mengamati air yang merembes pada kain? atau teh celup. Ketika kantong teh itu dicelupkan ke dalam air putih, serta merta si air putih berubah warna dan rasa, yaitu warna dan rasa teh (ya iyalah, masa jamu :p).

Kalau kita mau menilik diri kita dalam-dalam; kita hidup bersama dengan orang lain, dlm suatu lingkungan, yang mau nggak mau kita musti ngaku, masyarakat dan lingkungan tempat kita tinggal itu berpengaruh terhadap diri (warna dan rasa) kita. Nilai-nilai yang kita anut, sedikit banyak adalah buah2 interaksi dengan lingkungan, dari mulai biyung kita yg amat kita cintai, keluarga di rumah, tetangga, teman main kelereng, ampe sekarang teman kost, kampus, warga sekampung, dan seterusnya.
Mau nggak mau, kita seyogya(eh, kebumen)nya ngaku, bahwa kita tercelup, atau dicelupi. Celupan (bahasa arabnya; sibghoh) itu bisa macem-macem. Kayak teh celup yg juga ada berbagai macam mereknya. Tinggal pilih mo dicelup atau nyelup yang mana.

"Sibghoh Allah. Siapa yang lebih baik sibghoh-nya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah." (QS Al Baqarah: 138)

-wallahua'lam-

0 komentar:

Posting Komentar