Ada sebuah kisah (nyata lo, saya mendengarnya langsung dari yang
mengalaminya) . Seorang dokter ahli kulit dan kelamin menceritakan
pengalaman prakteknya.
Pada suatu hari, ada pasien datang kepadanya,
mengadukan masalah kulit yang dideritanya. Seperti kebanyakan
pasien2 dokter ini, pasien yang satu ini juga heboh dengan masalah
kulitnya karena dikejar deadline pernikahan. Kalau tidak salah
ingat, yang bermasalah adalah kulit bagian lengan atas.
Usut punya usut, kerusakan kulit itu terjadi karena proses
penghapusan tato yang kurang sukses. Syahdan, sebelumnya sang pasien
yang seorang wanita ini mentato lengannya dengan nama pacarnya,
sebagai tanda betapa besar cintanya pada sang kekasih. Sebut saja
nama pacar yang di-ukirkan di lengan wanita itu adalah andi.
Masalahnya kemudian adalah, si wanita ini ternyata (seiring
berjalannya waktu dan dengan berbagai pertimbangan tentunya) akan
menikah dengan (sebut saja) anton. whoaa...Lhah, heboh kan? Masak mo
nikah sama anton tatonya andi?!! Sungguh merana sang wanita...
Waktu mendengar cerita itu, plus karena bu dokter menceritakannya
dengan gaya yang heboh2 lucu, saya pun tertawa tergelak-gelak.
Bener2 tertawa, geli!. Bahkan saya bercerita dengan bapak-ibu
(secara, keluarga kami memang hobi banget berbagi cerita lucu), dan
dapur kami (waktu itu settingnya di dapur) mendadak ramai dengan
tawa. Hua..haha...
Tapi, tiba2 saja saya menyadari sesuatu yang lain dari cerita itu.
Sesuatu yang, yah...filosofis gitu deh. Setelah merenung2, saya
berpikir, masalah tato ini nggak sepele lho. Bukan soal hukum
tatonya, tapi pemaknaannya. Gini, mentato artinya memberikan tanda,
mengukirkan, mematri, dan apalagi lah padanan kata yang tepat, yang
jelas, apa yang ditatokan itu dibuat bersifat jelas, tetap, dan
permanen (mendarah daging kali yaks). Tato yang ada di kulit masih
bisa diakali, dihapus, digosok/ disetrika, dan lain sebagainya.
Kalaupun terjadi risiko kerusakan kulit, setidaknya jejak apa yang
ditatokan itu terhapuskan. Luka fisik itu juga relatif dapat
disembuhkan.
namun, bagaimana dengan tato hati?
kata org2 tua, ada yg namanya kecenderungan hati (biasa disebut rasa
suka/ cinta). Kita pada umumnya, atas izin Allah, memiliki
kecenderungan hati. Spesifik saja, ini kecenderungan hati terhadap
lawan jenis, yang kita harapkan menjadi pasangan hidup kelak.
Kecenderungan hati sebelum pernikahan, bisa saja ada (seperti kisah
Fathimah dan Ali), bisa juga tidak (ortu atau mbah2 kita jaman dulu
yg nikahnya dijodohin & ngga slg kenal). Kecenderungan hati, mungkin
lho ya, bisa muncul dari sononya (kita ga tau kenapa bisa muncul),
bisa juga karena kita mengupayakannya (melakukan tindakan2 yang
mendorong hati kita untuk cenderung pada seseorang).
Kecenderungan
hati yang terus dipupuk,kemudian didukung ke"shahih"annya dengan
fakta yang dihubung-hubungkan, prasangka dan asumsi yang disetir
oleh harapan-harapan, berkoloni menjadi angan-angan, dan mungkin
saja nama itu terlantunkan dalam doa agar nama yang disebut
dijadikan pasangan hidupnya kelak--ini yang saya sebut dengan men-
tato hati. (kalau bahasanya Pak Cahyadi, hati-hati mendikte Allah
dalam doa).
Emang, apa salahnya ya? Salah atau benar kadang jadi
relatif mengingat persepsi, pemahaman dan nilai-nilai yang kita anut
berbeda-beda. Tapi terlepas dari relativitas (?) itu, saya hanya
ingin berbagi soal keyakinan kita tentang jodoh yang telah
dituliskan, dan sungguh Allah Yang Maha Berkehendak. Kita ndak
pernah tau sebelum semuanya telah Allah perlihatkan, bukan? Seperti
keyakinan kita akan kematian.
Ya, tato hati itu, kalau ternyata jodoh yang Allah tentukan untuk
kita bukan orang yang namanya telah kita patri dalam hati, hmm…
gimana rasanya?
(saya jadi inget, ada seseorang yang waktu itu sedang menjelang hari
H pernikahannya, ia mengatakan; saya belum yakin bahwa orang ini
adalah jodoh saya, sampai ketika akad nikah telah dilakukan dengan
sah). Hmm…
Kalo gitu, boleh ngga ya fren, kita punya kecenderungan hati? It's
up to you. Coz kadang kita ngga bisa bebas kecenderungan. Tapi ya,
jangan sampai jadi tato hati. Sebaiknya sih tidak dipupuk sebelum
waktunya, sebelum kita memang telah siap menikah lahir batin.
Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
And then, kita mohon pada Allah untuk dijaga kebersihan niat dan
keikhlasan kita. Berdoa, dan kembalikan kepada Yang Memiliki Hati.
Semoga itu bagian dari petunjuk-Nya, dan mungkin adalah pembelajaran
langsung dari-Nya sampai kemudian Allah tanamkan pemahaman dalam
hati kita, tentang keikhlasan dan ketulusan. Subhanallah. ..so sweet
dah,,
Ok prens, be careful! and don't worry be happy, just take it easy.
Kehidupan di dunia ini indah dengan segala pernak-perniknya, tapi
sungguh, keindahan syurga jauu..uhh lebih memukau dan membuat kita
terpana (kalau anda percaya apa yang Allah janjikan). Dan siapakah
yang lebih menepati janji-Nya selain daripada Allah?
"Ukuran integritas cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati,
terkembang dalam kata, dan terurai dalam tingkah dan laku. Kalau cinta hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak
berdaya. Kalau cinta hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai kepalsuan dan tidak nyata. Kalau cinta sudah terurai jadi laku, cinta itu sempurna seperti dalam pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tegak dalam kata, dan buahnya menjuntai dalam laku.
Persis seperti iman, dia terpatri dalam hati, terucap dalam lisan,
dan dibuktikan oleh amal." [DR.K.H.Muslih Abdul Karim,MA, 2007]
0 komentar:
Posting Komentar